Senin, 26 Juli 2010

Sebuah Analisis Terhadap Fasisme Abad Ke-20




Sebuah Analisis Terhadap Fasisme Abad Ke-20

Bab sebelumnya telah menelaah akar budaya fasisme, bagaimana ideologi ini menjadi kebangkitan kembali gagasan paganisme yang dikuatkan oleh Darwinisme. Fakta-fakta ini adalah hal terpenting untuk memahami akar-akar fasisme dan gerakan-gerakan fasis yang terjadi pada abad ke-20. Akan tetapi, kita juga harus memperhatikan bagaimana gerakan-gerakan ini mampu mengambil alih tampuk kekuasaan di banyak negara pada abad ke-20, metode-metode apa saja yang mereka gunakan tatkala berkuasa, dan mimpi buruk yang diakibatkannya.

Segera setelah akhir Perang Dunia I, rezim fasis pertama di abad ke-20 dibangun di Italia oleh Benito Mussolini. Ia diikuti oleh Hitler di Jerman dan Franco di Spanyol. Pada tahun 1930-an, fasisme menjadi sebuah ideologi politik yang populer, partai-partai fasis baik besar ataupun kecil didirikan di banyak negara, dan kaum fasis berkuasa di Austria dan Polandia, sehingga seluruh Eropa dipengaruhi oleh fasisme.

Ada banyak kesamaan antara fasisme di Eropa, di mana contoh fasisme yang paling jelas terlihat, dengan fasisme di Amerika Latin dan Jepang, yang gerakannya juga mengakar dan tumbuh subur. Secara umum, fasisme memanfaatkan kondisi kekacauan dan ketidakstabilan dalam sebuah negara untuk menunjukkan diri kepada rakyat sebagai ideologi penyelamat. Begitu pemerintahan fasis terbentuk, rakyat dikendalikan dengan kombinasi ketakutan, penindasan, dan teknik-teknik cuci otak.


Krisis Sosial: Lahan Subur bagi Fasisme

Terdapat banyak persamaan pada latar belakang sosial dan psikologis di mana negara fasisme terbentuk. Sebagian besar negara-negara tersebut kalah dan rusak parah dalam Perang Dunia I, hingga rakyatnya sangat lemah dan letih, banyak yang kehilangan suami, istri, anak-anak dan orang-orang yang mereka cintai dalam perang. Negara-negara tersebut juga tertimpa kesulitan ekonomi, politik, dan perasaan meluas bahwa bangsa mereka mengalami keruntuhan. Rakyat menderita secara material; partai-partai yang beragam itu tak mampu mengatasi masalah-masalah bangsa, di samping berkelahi di antara mereka sendiri.


Setelah Perang Dunia I, banyak penduduk yang menjadi janda dan yatim piatu. Rakyat merasakan kesedihan karena kehilangan orang-orang yang mereka cintai dan sanak keluarga, dan juga menghadapi masalah ekonomi dan psikologis akibat angka pengangguran yang tinggi. Akibatnya, mereka merindukan masa lalu yang penuh kejayaan.

Pada dasarnya, kemiskinan Italia akibat perang Dunia I adalah faktor terpenting dalam perkembangan kekuasaan fasisme. Lebih dari 600.000 orang Italia tewas akibat perang itu, dan hampir setengah juta orang menjadi cacat. Bagian terbesar dari populasi terdiri dari para janda yatim piatu. Negara itu tertekan oleh resesi ekonomi dan angka pengangguran yang tinggi. Walau bangsa Italia menderita kerugian besar dalam perang, mereka hanya mencapai sebagian kecil dari tujuan mereka. Seperti halnya negara-negara lain yang lelah akibat perang, bangsa Italia merindukan untuk memiliki kembali kehormatan dan keagungan mereka sebelumnya.

Sebenarnya, ini adalah sentimen yang telah membangun kekuatan sejak akhir abad ke-19. Italia modern bernostalgia dengan kebesaran Kekaisaran Romawi, dan merasa berhak atas wilayah Romawi dahulu. Lagi pula, Italia merasa bersaing dengan kekuatan-kekuatan utama di dunia dan berharap untuk mengangkat dirinya ke kedudukan mereka, atau, ke "posisi yang selayaknya". Karena pengaruh cita-cita ini, bangsa Italia berharap untuk menjadi sekuat Inggris Raya, Prancis dan Jerman.


AKIBAT PERANG DUNIA I YANG BEGITU MENYEDIHKAN

"Perang Besar" tahun 1914-1918 menghancurkan Eropa. Sepuluh juta orang tewas, dan jutaan lainnya menderita krisis ekonomi dan psikologis yang diakibatkannya. Terutama Jerman, sangat ingin menemukan jalan keluar. Fasisme memanfaatkan situasi ini.

Krisis sosial, politik, dan ekonomi juga berperan penting dalam pembentukan Nazisme di Jerman, yang telah kalah dalam Perang Dunia I. Pengangguran dan krisis keuangan menambah kekecewaan akibat kekalahan itu. Inflasi meningkat hingga tingkat yang jarang dapat disamai. Anak-anak kecil bermain dengan uang kertas bernilai jutaan mark, karena uang, yang merosot nilainya dalam hitungan jam, menjadi tak lebih dari selembar kertas nilainya. Bangsa Jerman ingin memulihkan harga diri mereka yang hilang dan kembali ke taraf hidup yang lebih baik. Dengan janji untuk memenuhi harapan-harapan seperti ini, Nazisme muncul dan memperoleh dukungan.

Spanyol pra-fasis juga menunjukkan kesamaan dengan negara-negara ini. Hilangnya koloni-koloni Spanyol di kedua sisi benua Amerika pada awal abad ke-19 telah membuat harga dirinya merosot tajam. Pada awal abad ke-20, Spanyol sudah setengah runtuh. Perekonomiannya jatuh, dan hak-hak istimewa yang didapat oleh kaum aristokrat membuka jalan bagi ketidakadilan. Bangsa Spanyol mengenang masa lalunya yang agung dan kuat dengan kerinduan mendalam.

Negara lain yang sangat dipengaruhi oleh fasisme adalah Jepang. Pada masa Jepang pra-fasis, lapisan masyarakat yang lebih tinggi sangat kuatir dengan perkembangan Marxisme di kalangan anak muda. Tetapi mereka tak mampu menentukan bagaimana menyingkirkan ideologi yang merusak itu. Selain itu, perubahan-perubahan sosial seperti itu sangat membingungkan bagi masyarakat yang begitu terikat dengan tradisinya. Ikatan kekeluargaan melonggar, angka perceraian meningkat, rasa hormat kepada kaum tua terkikis, adat dan tradisi ditinggalkan, kecenderungan individualis mulai muncul, kemerosotan di kalangan pemuda mencapai tingkat yang menyedihkan, dan angka bunuh diri mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan. Dalam kondisi-kondisi seperti ini, stabilitas masyarakat Jepang di masa depan dianggap dalam bahaya. Semua hal di atas membawa mereka kepada kenangan masa lalu. Kerinduan akan masa-masa kejayaan dahulu dan usaha-usaha untuk membangkitkannya, merupakan jebakan awal bagi rakyat yang membawa mereka terjerat sepenuhnya oleh rezim fasis.

Kita juga tak boleh mengabaikan ancaman komunisme, yang saat itu mengancam untuk mengambil alih seluruh dunia. Bisa jadi sejumlah bangsa menyerahkan diri pada rezim-rezim fasisme agar tidak menjadi korban ideologi yang brutal, kejam dan penindas itu, lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya, karena percaya bahwa fasisme "lebih baik di antara dua kejelekan".


LINGKARAN SETAN DARI IDEOLOGI-IDEOLOGI DARWINIAN: KOMUNISME DAN FASISME

Orang-orang berkumpul di depan gedung Partai Komunis Jerman dalam sebuah protes anti komunis pada tahun 1933, dengan unit-unit SA di barisan terdepan. Slogan yang ditulis di gedung itu berbunyi, "Maju dengan perjuangan melawan ancaman perang, fasisme, kelaparan dan kedinginan, melalui kerja keras, makanan dan kebebasan". Ketika gerakan fasis mulai memperoleh momentum, komunisme sudah menjadi ancaman yang menghadang. Dengan harapan menghindari kekejaman dan penindasan komunisme, sejumlah negara pada akhirnya beralih pada fasisme, keluar dari mulut macan kemudian masuk ke mulut buaya.


Mangsa Empuk bagi Fasisme: Kaum Tidak Terpelajar

Faktor lain yang membuka jalan bagi fasisme adalah kebodohan dan rendahnya pendidikan dalam banyak masyarakat. Pendidikan mengalami kemunduran hebat selama kekacauan Perang Dunia I. Banyak sekali kaum muda terpelajar yang tewas dalam medan perang. Pada umumnya, hal ini mengakibatkan kemunduran tingkat kebudayaan dalam masyarakat. Sebagian besar pendukung fasisme adalah kaum tak terpelajar, mereka berjuang atas nama fasisme, dan menjadi pion bagi kebijakan-kebijakan chauvinistiknya. Karena, ide-ide fundamental yang mendasari fasisme (yakni rasisme, nasionalisme romantik, chauvinisme, dan fantasi) hanya dapat diterima luas oleh kalangan tak terpelajar, yang mudah terbujuk oleh slogan-slogan mentah dan sederhana.

Orang-orang seperti itu, karena menganggap diri mereka terperangkap, mencari jalan keluar yang mudah. Mereka merangkul para pemimpin fasis, seakan-akan mereka adalah sabuk pengaman, sebagaimana diungkapkan Eric Hoffer dalam bukunya The True Believer:

Tentang orang-orang yang terjun tanpa pikir panjang ke dalam usaha perubahan besar, mereka pastilah mengalami ketidakpuasan yang sangat selain kemiskinan, dan mereka pastilah memiliki perasaan bahwa dengan memegang suatu doktrin yang kuat, pemimpin yang sempurna, atau teknik-teknik baru, mereka memiliki akses ke sumber kekuatan yang menarik. Mereka pastilah juga mempunyai gambaran yang berlebih-lebihan tentang kemungkinan dan kemampuan di masa depan. Akhirnya, mereka pastilah tidak mengetahui sama sekali kesulitan-kesulitan yang tersimpan dalam usaha perubahan besar mereka. 34

Sebuah penelitian terhadap kondisi masyarakat yang mendahului fasisme memperjelas fakta bahwa banyak orang memiliki kejiwaan semacam itu.


Metode-Metode yang Digunakan Fasisme untuk Berkuasa


Pasukan paramiliter pura-pura bentukan Mussolini, Black Shirts.

Fasisme mencapai kesuksesan pertama kalinya di Italia. Mussolini mengambil keuntungan dari tekanan-tekanan sosial dan kerinduan di kalangan rakyat Italia akan perubahan. Setelah perang, Mussolini memobilisasi para mantan tentara, pengangguran dan mahasiswa, dengan slogan-slogan yang meneriakkan kembalinya masa-masa kejayaan Romawi kuno. Mussolini mengorganisir para pendukungnya, yang dikenal sebagai "Kemeja Hitam" dalam sebuah format semi-militer, dan memiliki metode-metode yang dibangun dengan kekerasan. Mereka mulai melakukan penyerangan-penyerangan di jalan-jalan terhadap kelompok-kelompok yang mereka anggap sebagai saingan mereka. Dengan berbagai unjuk salam, lagu, seragam, dan pawai resmi yang bergaya Romawi, mereka membangkitkan emosi kaum tak terpelajar dan tak punya hak suara.

Pada tanggal 29 Oktober 1922, 50.000 militan fasis di bawah komando enam jendral berbaris memasuki Roma. Karena sang raja sadar apa yang dapat dilakukan oleh kekuatan yang menentangnya ini, dan bahwa tidak ada yang dapat ia lakukan untuk melawan mereka, ia mengajak Mussolini untuk membentuk sebuah pemerintahan. Sebagai hasil perkembangan selanjutnya, kaum fasis Italia akhirnya berkuasa. Tak lama setelah itu, Mussolini melarang semua partai-partai politik lain. Beberapa pemimpin oposisi dibuang ke pengasingan di luar negeri, dan yang lainnya dipenjara.


KUDETA YANG DILAKUKAN PASUKAN KEMEJA HITAM BENTUKAN MUSSOLINI

Pada 29 Oktober 1922, 50.000 milisi fasis yang dipimpin Mussolini dan di bawah komando enam jenderal, berbaris menuju Roma. Plakat (atau poster?) yang mereka bawa bertuliskan "Roma atau mati."

Gambar kiri memperlihatkan milisi fasis yang memasuki gerbang-gerbang Roma di akhir barisan. Barisan ini, dengan pasukan yang demikian banyak, meneriakkan slogan-slogan yang menyerukan kembalinya masa kejayaan Romawi kuno. Tindakan ini menimbulkan efek emosional yang sangat besar dalam diri publik yang sedang putus asa dan tidak tahu apa-apa, hingga akhirnya merasa fasisme adalah dewa penyelamat (my own interpretation itu mah.)

Raja Italia, sudah tak mampu lagi melawan gerombolan fasis yang menduduki Roma, dan membiarkan Mussolini membentuk pemerintahan.



Italia Balbo, jenderal pasukan Black Shirts.


Gerakan Nazi, yang dimulai tahun 1920-an, melakukan tindakan kekerasan pertamanya pada ‘putsch’ di Aula Bir Munich. Gambar di bawah ini menunjukkan sejumlah orang yang pantas menjadi tertuduh dalam pengadilan kejadian di ‘putsch’ Aula Bir Munich.

Hitler memperoleh kekuasaan dengan cara yang sama. Gerakan Nazi lahir pada awal tahun 1920-an, dan melakukan tindakan kekerasan pertamanya pada ‘putsch’ di Aula Bir Munich. Pada tanggal 8 November 1923, Hitler menggerebek sebuah pertemuan di Aula Bir Munich di mana Komisaris Negara Bavaria, Gustav von Kahr sedang berpidato di depan satuan-satuan militer, tidak ada bedanya dengan sebuah geng terorganisir, dan 600 polisi negara SA.

Hitler memasuki pertemuan dalam kemarahan yang meluap-luap dan mengambil alih tempat itu. Seraya menembakkan peluru ke langit-langit, ia berkata bahwa dirinya sedang mengumumkan revolusi nasional. Tetapi kup ini adalah sebuah kesalahan. Hitler ditangkap dan hidup dalam pengasingan selama sembilan bulan. Meski demikian, pada tahun-tahun berikutnya, kaum Nazi tumbuh makin kuat dengan meneror lawan-lawannya dan menghasut kebencian anti-Semit. Pada akhirnya, Partai Nazi menjadi sebuah partai penting di parlemen. Selama hal ini berlangsung, tentu saja, kaum Nazi seringkali melakukan cara-cara ilegal, sebagaimana partai Fasis Italia. Pada tanggal 30 Januari 1933, Hitler diangkat menjadi kanselir. Jabatan itu diberikan kepadanya oleh Presiden Hindenburg yang sudah tua, yang menyadari bahwa pertumbuhan kekuatan Gerakan Sosialis nasional semakin mengancam, dan karenanya, Hitler dijadikan kanselir untuk mencegah perang sipil.


Pada 30 Januari 1933, Hitler diangkat menjadi kanselir oleh Presiden Paul von Hindenburg.

Ketika Hitler kembali mencalonkan diri dalam pemilihan umum pada bulan Maret, sebagaimana semua pemerintahan fasis, kaum Nazi melakukan teror, intimidasi, dan kecurangan. Setelah pemilihan umum, parlemen Jerman segera meloloskan Undang-Undang Pembolehan, yang membuat Hitler menjadi diktator Jerman selama empat tahun.

Dengan demikian, kekuasaan pemerintahan dan penegakan hukum berada di tangan Hitler. Namun, tak lama kemudian, kekuasaannya meningkat lebih jauh lagi. Pada bulan Agustus 1934, saat wafatnya Hindenburg, jabatan presiden dan kanselir disatukan, dengan Hitler sebagai pemegang keduanya. Hitler memberlakukan kebijakan-kebijakan seperti yang dilakukan Mussolini. Selain pemaksaan yang tak berperikemanusiaan, Hitler juga menggunakan berbagai metode yang tidak demokratis. Misalnya, ia melarang semua partai oposisi, dan melarang semua perserikatan dagang, sehingga menghapuskan sepenuhnya kebebasan individu. Pengaruh Nazi dapat dirasakan dalam seluruh bidang kehidupan. Bahkan profesor-profesor universitas pun diharuskan bersumpah untuk loyal kepada Hitler.

Di Spanyol, Franco meraih kekuasaan setelah sebuah perang sipil berdarah. Dengan didukung oleh Hitler dan Mussolini, pasukan bersenjata Franco mengalahkan kaum komunis setelah perang yang dahsyat dan lama, lalu mengambil alih kekuasaan di seluruh negeri. Franco kemudian membangun sebuah rezim yang menindas, dan memerintah negara itu dengan "tangan besi" hingga tahun 1975.


Teknik-Teknik Pencucian Otak oleh Fasisme


Rapat-rapat akbar Nazi diadakan dengan penuh kemegahan dan dinyanyikan lagu-lagu kebangsaan yang membangkitkan semangat. Acara seperti ini secara khusus ditujukan untuk membangun rasa kagum sekaligus rasa takut, sehingga memikat hati publik yang tak berakal. Secara efektif, fasisme adalah ideologi yang berdasarkan emosi, bukan akal sehat.

Ada sebuah kekhasan yang sangat buruk pada fasisme dan Nazi Jerman: usaha untuk mencuci otak rakyatnya. Program ini dibangun dengan dua unsur dasar, yakni edukasi dan propaganda.

Dalam Mein Kampf, Hitler menulis, "Propaganda adalah sebuah alat, dan karenanya harus dinilai dengan melihat tujuannya… Propaganda dalam Perang ini merupakan suatu alat untuk mencapai sebuah tujuan, dan tujuan itu adalah perjuangan demi eksistensi rakyat Jerman; karenanya, propaganda hanya dapat dinilai sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku untuk perjuangan ini. Dalam hal ini, senjata-senjata yang paling kejam menjadi beradab bila mereka mampu membawa kemenangan yang lebih cepat… Semua propaganda haruslah bersifat umum dan tingkat intelektualnya harus disesuaikan dengan kecerdasan terendah di antara sasaran propaganda. Maka dari itu, semakin besar massa yang ingin diraih, harus semakin rendah tingkat intelektual." 35

Hitler memang sangat efektif dalam memanfaatkan propaganda. Sebagai contoh, sutradara terkenal Leni Riefenstahl diminta untuk membuat sebuah film propaganda Nazi, Olympia. Dalam Triumph of Will, film lain karya Riefenstahl, Hitler digambarkan hampir seperti dewa. Ideologi pagan Nazi diagung-agungkan dalam film-film ini, dan akhirnya memesona masyarakat. Olympia adalah salah satu pusat dalam budaya pagan Yunani kuno. Kota Olympia, dengan patung Zeus-nya yang terkenal, adalah simbol yang tepat bagi ideologi pagan Nazisme.

Semua rezim fasis, tidak hanya rezim Hitler, sangat efektif menggunakan propaganda untuk memaksakan keinginan mereka kepada publik. Mussolini menyatakannya secara terbuka:

Bagi saya, massa hanyalah sekawanan domba selama mereka tak terorganisasi… Unjuk salam, lagu-lagu dan slogan Romawi… semuanya sangat diperlukan untuk mengipasi api antusiasme yang menghidupkan sebuah gerakan.… Segalanya berpulang pada kemampuan seseorang untuk mengatur massa tersebut bagaikan seorang seniman.36

ALAT PROPAGANDA FASIS: HASUTAN DAN ROMANTISME


"Aku tidak memiliki keinginan lain selain menjadi prajurit pertama Reich Jerman."

"Pelajar Jerman berjuang demi Fuhrer dan bangsa ini."

"Kemenangan bagi Jerman berarti kemenangan bagi Eropa."

Nazi sangat efektif dalam menggunakan propaganda. Dalam publikasi-publikasi propaganda, Hitler digambarkan sebagai orang yang sangat hebat, sewaktu seluruh masyarakat didorong untuk berperang dan melakukan kekerasan. Gambar di atas adalah contoh-contoh majalah dan surat kabar propaganda Nazi, yang dicetak di berbagai kota di Jerman. Pesan-pesan bermuatan nostalgia dan membangkitkan emosi diperlihatkan dalam poster-poster propaganda di bawah ini. Publik dihasut untuk membenci musuh imajiner, dan ungkapan-ungkapan seperti "bangsa Jerman" dan "Tentara Jerman" menjadi cita-cita yang dihormati publik.



Metode-metode propaganda juga digunakan oleh Mussolini. Di atas ini adalah beberapa contoh publikasi yang menggambarkan fasisme Italia dan akar paganismenya. Gambar bawah adalah sebuah slogan yang memperlihatkan pemikiran yang dipakai oleh sistem pendidikan. Bunyinya, "Yakin, patuh, berperang", dan bahkan anak-anak sekolah dasar dipaksa untuk mempelajarinya sepenuh hati.


PROPAGANDA "DUCE, MANUSIA YANG SEMPURNA" DI ITALIA

Gambar-gambar dan publikasi-publikasi yang melukiskan Mussolini sebagai manusia yang sempurna tersebar luas di masa fasis Italia. Gambar-gambar dirinya bersama para petani di ladang, atau bersama anak-anak di sekolah, terpampang di mana-mana. Lukisan di atas memperlihatkan propaganda Mussolini.

Poster-poster propaganda (kanan) juga ditujukan untuk menanamkan cita-cita fasis dalam diri rakyat Italia.



Fasisme berusaha untuk mempengaruhi pikiran rakyat…. Pada gambar di atas, tema-tema ini mendominasi poster-poster propaganda pada masa Mussolini.

Penekanan untuk Melenyapkan Pemikiran yang Bertentangan


Menteri Propaganda Joseph Goebbels (tengah)

Sebuah contoh menarik tentang usaha-usaha fasisme untuk mencuci otak masyarakat adalah upacara-upacara pembakaran buku pada Jerman Nazi.

Hal ini pertama kali dilakukan pada 10 Mei 1933. Para mahasiswa dari berbagai universitas Jerman, yang sebelumnya telah diakui sebagai yang terbaik di dunia, berkumpul di Berlin dan kota-kota Jerman lainnya, dan membakar buku-buku yang berisi pemikiran-pemikiran "non-Jerman". Ribuan buku dibakar, disertai penghormatan Nazi, lagu-lagu dan musik kemiliteran.

Di Berlin, Menteri Propaganda Nazi Joseph Goebbels berpidato di depan para pelajar:


Seruan dalam majalah remaja Jerman untuk meramaikan pembakaran buku.

Terobosan revolusi Jerman telah membuka kembali jalan bagi Jerman… Manusia Jerman masa depan tidak hanya akan menjadi seorang manusia buku, melainkan seorang manusia berkarakter. Kepada tujuan inilah kami ingin mendidik kalian. Sebagai pemuda, memiliki keberanian untuk menghadapi tatapan tanpa belas kasihan, mengatasi rasa takut akan kematian, dan memperoleh kembali rasa hormat terhadap maut—demikianlah tugas dari generasi muda ini. Dan dengan demikian di saat-saat tengah malam ini kalian bertindak baik dengan melemparkan roh-roh jahat masa lalu ke dalam api. Ini adalah sebuah tindakan yang simbolik, kuat, dan hebat—tindakan yang seharusnya membuktikan hal-hal berikut ini kepada dunia—Di sinilah pondasi intelektual dari Republik (Demokratik) November runtuh ke tanah, tetapi dari rongsokan ini bangkitlah burung phoenix dari sebuah jiwa baru akan dengan penuh kejayaan… 37

Negara fasis hanya memperbolehkan ideologinya sendiri yang diajarkan. Di luar itu, tak seorang pun boleh memikirkan yang lain, jika tidak, dia akan dihukum, buku-bukunya dibakar, atau dibungkam dengan cara-cara lainnya. Mereka yang tak setuju dengan ideologi ini diintimidasi sampai dia mau menerimanya.

Oleh karena itu, sistem pendidikan dibuat untuk sepenuhnya melayani negara fasis. Perubahan sepenuhnya sistem pendidikan digariskan dalam pasal ke-20 prinsip-prinsip dasar Sosialisme Nasional. Sejak sekolah dasar, anak-anak dibesarkan tanpa nilai-nilai etika atau rasa kemanusiaan, tanpa kasih sayang atau belas kasihan sama sekali. Mereka dididik dengan prinsip-prinsip bahwa yang kuat adalah yang paling benar, dan bahwa penggunaan kekuatan penting untuk mencapai tujuan. Lembaga yang diciptakan untuk anak-anak Jerman berusia antara 10 hingga 18 tahun dikenal dengan Hitlerjugend, atau Pemuda Hitler. Semua yang bergabung dengan Pemuda Hitler diperingatkan bahwa mereka harus benar-benar waspada dalam kehidupan sehari-hari, dan harus memata-matai semua orang yang menentang Nazi. Sebagian dari mereka bahkan melaporkan orang tua mereka sendiri. Pemuda Hitler tumbuh terus menerus, dan pada tahun 1935, 60% pemuda menjadi anggotanya.


PEMBAKARAN BUKU OLEH NAZI


Negara fasis hanya mengizinkan ideologinya sendiri untuk dibaca dan diajarkan, itulah sebabnya pembakaran buku-buku merupakan ciri khas khusus dalam metode yang mereka gunakan. Gambar-gambar ini adalah pemandangan dalam sebuah upacara pembakaran buku yang dilakukan para mahasiswa universitas Jerman di Berlin tanggal 10 Mei 1933.

Taktik lain yang digunakan oleh semua rezim fasis adalah menyembunyikan sejarah yang benar dari masyarakat, dan menggantikannya dengan pengajaran sebuah versi khayalan yang mereka tulis sendiri. Tujuanmya adalah untuk membangun sebuah budaya di mana pemikiran-pemikiran kaum fasis dapat berkembang dengan pesat, yang memungkinkan mereka menjadi lebih populer dan lebih kuat mengakar dalam masyarakat. Pemahaman tentang sejarah, juga filsafat, sepanjang proses pendidikan diawasi ketat oleh negara fasis. Karena dididik dengan sistem itu, rakyat sama sekali tak menyadari bahwa mereka sedang dicuci otak dalam ideologi fasis, dan bahwa semua pemikiran lain disensor sepenuhnya.


Propaganda fasis juga ditujukan pada anak-anak kecil. Poster di atas berbunyi, "Benito Mussolini mencintai anak-anak. Dan anak-anak Italia mencintai Sang Duce. Hidup Sang Duce!" .

Berhala-Berhala Fasisme: Pemimpin yang dikeramatkan


Meskipun propaganda fasis berusaha menampilkan Mussolini sebagai orang yang hebat dan sempurna, sebenarnya secara psikologis ia sakit, dan jiwanya labil. Masalah-masalah kejiwaannya terkadang bisa terlihat dari ekspresi wajahnya.

Bagian paling penting dalam fasisme adalah sang pemimpin, yang namanya ditonjolkan dalam setiap aspek kemasyarakatan. Rezim Hitler, Mussolini dan Franco adalah contoh nyata hal ini. Gelar-gelar yang digunakan para diktator ini, "Der Führer," "Il Duce", atau "El Caudillo", semuanya menyiratkan hal yang sama—"Pemimpin yang mengetahui segalanya". Dan, memang, ketiganya menjalankan pemerintahan masing-masing sepenuhnya berdasarkan keinginan-keinginan mereka sendiri, sementara kolega-kolega terdekat dan perwira-perwira paling senior mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Fasisme melekatkan sebuah kekuatan yang nyaris keramat kepada sang pemimpin, agar ia dapat mempertahankan daya tariknya dan meningkatkan penerimaannya di hati rakyat. Sang pemimpin adalah penguasa seluruh negeri dan rakyatnya, yang digambarkan sebagai bagian dari dirinya. Seorang pemimpin Sosialis Nasionalis, Herr Spaniol, berpidato di Saarbruecken pada bulan Januari 1935:

Aku tidak percaya bahwa Gereja-gereja akan terus eksis dalam bentuknya yang sekarang. Di masa depan agama akan bernama Sosialisme Nasional. Nabinya, pausnya, Yesus-nya, akan bernama Adolf Hitler. 38

Dengan cara serupa, Mussolini dipandang di Italia sebagai seorang dengan kemampuan istimewa, suatu makhluk unggul, yang dipilih dan diciptakan demi tugas yang diembannya. Perkataan dan pernyataan Mussolini dinamakan "Dekalog Fasis", dan yang kedelapannya: "Duce selalu benar", menjadi slogan yang terdengar di seluruh Italia pada tahun 1920-an dan 1930-an. 39 Tahun 1935, keanggotaan organisasi pemuda fasis, Opera Nationale Balilla, diwajibkan kepada seluruh pemuda Italia. Para pemuda Italia yang menjadi anggota Balilla bersumpah untuk "… percaya kepada Romawi yang abadi… kepada kejeniusan Mussolini, kepada Fasisme Bapak Suci kita."40

Cara lain yang digunakan untuk melukiskan pemimpin fasis sebagai keramat adalah dengan menempatkan gambar-gambar dan patung-patungnya di seluruh penjuru negeri. Hal ini memiliki efek psikologis yang mendalam terhadap rakyat, yang terus-menerus merasa diri mereka berada dalam kekuasaan dan pengawasannya, dan bahkan, bahwa dia selalu mengamati mereka.


Hitler yang digambarkan sebagai pahlawan rakyat.
Salah satu tujuan utama keharusan pemasangan poster-poster propaganda di seluruh pelosok negeri adalah untuk membuat rakyat merasa bahwa sang pemimpin berada di mana-mana dan sedang mengawasi mereka.



PERASAAN BAHWA "HITLER SELALU MENGAWASIMU"

Alasan mengapa poster-poster sang pemimpin rezim fasis dipasang di seluruh negeri adalah untuk membuat rakyat merasa bahwa ia selalu mengawasi mereka. Dengan cara ini, terbentuk sebuah "masyarakat penuh rasa takut."

Jawatan propaganda resmi milik Mussolini biasanya mengarahkan pers bagaimana foto Mussolini akan dicetak, kapan, dan foto yang mana, di halaman berapa, dalam susunan seperti apa, dan dalam ukuran berapa. Dalam foto-foto ini, "Il Duce" tampil di hadapan rakyatnya dengan pose-pose yang megah: sambil mengacungkan pedang, menekankan perkembangan ekonomi di wilayah panen, menyapa kaum fasis muda, sebagai seorang pekerja atau olahragawan yang tak kenan lelah.

Di setiap kesempatan, Mussolini ditampilkan sebagai pahlawan rakyat. Halaman-halaman koran dihiasi foto-fotonya sedang menerbangkan pesawat, berkuda melompati rintangan, berenang, bermain ski di pegunungan Alpen, bermain anggar, memakai kostum terjun payung, dan lain-lain.

Propaganda ini begitu efektifnya hingga teman-teman lamanya pun langsung berdiri menghormat setiap kali bertemu dengannya. Jadi, Mussolini dapat memuaskan egonya yang sangat besar, dengan tidak mempersilakan teman-teman lamanya untuk duduk, melainkan membiarkan mereka terus berdiri selama berjam-jam.


FOTO-FOTO SANG PSIKOPAT
Menurut para psikiater, Hitler menderita banyak penyakit jiwa dan labil. Namun propaganda Nazi menampilkan Hitler sebagai pemimpin Jerman yang sempurna.

Metode-metode yang digunakan untuk menggambarkan pemimpin fasis sebagai manusia super, selama masa Hitler dan Mussolini berkuasa, juga digunakan oleh kaum fasis modern di masa kita. Diktator fasis di Irak, Saddam Hussein, adalah sebuah contoh. Selama bertahun-tahun, jalan-jalan di Irak dipenuhi oleh gambar-gambar Saddam yang berukuran besar. Dan, di dalamnya, dia diperlihatkan dalam beraneka peran yang berbeda sebagai pemimpin rakyatnya: sebagai petani di desa, pekerja di pabrik, sebagai tentara di barak militer. Dia membuat kehadirannya terasa di mana-mana, dalam upaya untuk memberi kesan sebagai "seseorang yang melihat dan mengetahui segala hal", dengan kata lain, seorang yang keramat.


Romantisme Fasis

RAKYAT YANG TERHIPNOTIS OLEH PROPAGANDA NAZI TIDAK MAMPU MELIHAT KEBENARAN

Dipenuhi rasa kagum terhadap Hitler, rakyat Jerman mengabaikan bukti-bukti pembantaian san penyiksaan massal seperti gambar di atas.

Bagaimanapun, fasisme tentu saja tidak semata-mata terdiri dari sang pemimpin dan kelompok fasis di sekitarnya. Dalam fasisme Nazi Jerman dan Italia, terdapat dukungan umum yang luar biasa terhadap rezim. Dukungan ini didapatkan dengan sejumlah cara. Rezim-rezim fasis tidaklah sekadar "otoriter", yang membungkam rakyatnya; mereka juga "totaliter".

Ciri khas utama yang menjadi daya tarik ideologi fasis bagi rakyatnya dalam sistem totaliter adalah "romantisme ekstrem". Orang-orang yang punya perasaan romantis dan irasional atau keterikatan emosional terhadap cita-cita dan gerakan-gerakan pada zaman mereka atau dalam sejarah sangat mudah diarahkan dan dimanipulasi, dan bahkan dapat diprovokasi untuk melakukan kejahatan. Jika orang seperti itu berhasil diyakinkan bahwa kekejaman yang diwajibkan atas mereka dilakukan dengan alasan-alasan sakral, seperti "keunggulan ras mereka sendiri", tidak ada batas bagi ketidakadilan yang mereka dapat diperdaya untuk melakukannya. Rezim fasis menyadari hal ini, dan mengerahkan segala upaya agar rakyatnya tetap berada dalam kondisi kegairahan emosional yang irasional dan pergolakan. Mereka mempertunjukkan apa yang tampak sebagai nilai-nilai sakral kepada rakyat dan mendorong mereka mengorbankan diri demi negara, merendahkan bangsa atau ras lain, dan bahkan untuk menyiksa dan membunuh.


Meskipun Hitler dan para pegawainya adalah orang-orang sipil, mereka memakai seragam militer sepanjang waktu dan kerap mengadakan upacara militer. Tujuannya adalah untuk membangun watak gemar berperang dalam diri rakyat Jerman, dan mempersiapkan mereka menghadapi serangan Perang Dunia II.

RAPAT-RAPAT AKBAR YANG DIADAKAN UNTUK PENCUCIAN OTAK
Rezim fasis sangat mementingkan rapat-rapat akbar, …, upacara-upacara, membuat patung-patung, simbol-simbol, hari-hari peringatan dan pengibaran bendera-bendera. Ini semua mampu menyihir publik, membuat mereka tak bisa melihat kebenaran.


KEKEJAMAN YANG TERSEMBUNYI DI BALIK PERTUNJUKAN
Nazi Jerman mengutamakan pertunjukan palsu. Tujuannya adalah untuk membuat rakyat terlupa akan kekejaman Nazi, dan menyebar pengaruh pada seluruh masyarakat.

Karenanya, rezim fasis selalu cenderung untuk sangat mementingkan rapat-rapat akbar, defile, pertemuan-pertemuan dan berbagai upacara. Tujuan mereka adalah untuk membentuk rasa persatuan pada diri rakyatnya, yang mirip dengan rasa persatuan sekawanan domba. Rakyat pertama kali dialihkan dari agama dengan menggunakan simbol-simbol, patung-patung, hari-hari peringatan, bendera-bendera, obor, dan seragam. Upacara-upacara besar yang memotivasi dirancang untuk menggantikan upacara keagamaan. Hal-hal tersebut membuat rakyat terindoktrinasi oleh cita-cita fasis, dalam kegembiraan dan kegairahan palsu, seakan melakukan penyembahan kepada tuhan. Semboyan-semboyan yang terus menerus disorakkan ataupun dituliskan, pekikan, musik perang dan pemberian hormat adalah bagian penting dalam upacara-upacara kaum fasis.

Kerumunan-kerumunan fasis ini sama sekali tak memiliki pemikiran atau kelakuan yang berakal. Mereka hanyalah sekelompok orang yang dilecut dengan berbagai slogan, lagu dan syair, namun tuli terhadap semua logika. Massa seperti ini, yang mengidentifikasikan diri dan pemimpin-pemimpin mereka dengan para pahlawan dalam mitologi atau legenda-legenda masa lalu, melakukan kekejian dengan semangat ‘kepahlawanan’ palsu. Bila suatu saat mereka dipanggil untuk mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut, mereka mengatakan bahwa mereka melakukannya demi negara, dan mereka sebenarnya adalah para pahlawan bangsa. Dengan dikuasai hipnotis semacam ini, para pengikut Hitler dan Mussolini melakukan kekejaman dalam kondisi kegairahan yang keliru.

Di bawah fasisme, kecintaan yang wajar yang dimiliki seseorang terhadap rakyat dan negerinya berubah menjadi sebuah sentimentalitas berbahaya dan kehilangan kontrol diri, dan dengan cara mengeksploitasi emosi-emosi inilah seluruh masyarakat diarahkan untuk membunuh. (lihat Ancaman Dibalik Romantisisme, Harun Yahya)


Nilai-Nilai Sakral yang Keliru dalam Fasisme


Hitler dengan sebuah bendera darah, simbol paling sakral dalam upacara-upacara Nazi.
Bendera darah merupakan simbol sakral dalam upacara-upacara Nazi. Puluhan ribu bendera-bendera Partai Nazi lainnya disentuhkan pada bendera ini, dengan kepercayaan bahwa bendera-bendera itu akan terpengaruhi kekuatan ‘sakralnya’.

Fasisme adalah sebuah kepercayaan keliru yang dibuat untuk menyingkirkan agama-agama ketuhanan dan menggantikannya dengan kepercayaan pagan. Dan, sudah jelas bahwa bila kepercayaan itu keliru, maka nilai-nilai yang disakralkannya pun pasti keliru. Misalnya, kaum Nazi selalu menggunakan slogan "Blut and Boden" (Darah dan Tanah), dan membuat simbol-simbol dari kedua konsep itu. Sebagai contoh, selama manuver Hitler yang gagal pada tahun 1923, salah satu bendera swastika yang basah oleh darah para pendukung Nazi yang terluka, dijadikan barang keramat. Bendera itu dijuluki "Blutfahne" (Bendera Darah) dan diawetkan sebagaimana aslinya, dan menjadi simbol paling sakral dalam semua upacara Nazi. Bendera-bendera baru disentuhkan pada Bendera Darah, sehingga bendera itu dapat menyebarkan sebagian sifat "keramat"-nya. 41

Perang dan kekerasan, dua unsur yang lebih fundamental dalam fasisme, adalah konsep-konsep pagan yang coba digambarkan oleh fasisme sebagai nilai-nilai sakral. Tujuan agama-agama ketuhanan adalah untuk menciptakan sebuah masyarakat dan dunia yang bebas dari kekerasan dan perang; sedangkan bagi fasisme, perang adalah kebajikan itu sendiri. Fasisme percaya bahwa rakyat mendapatkan kehormatan dan kekuatan dari berperang dan membunuh. Sudah tentu, keyakinan ini mengobarkan lebih banyak perang dan pertumpahan darah. Fasisme terus-menerus mempersiapkan kekejian dan banjir darah yang baru.


Musuh-Musuh Imajiner bagi Negara Fasis

MUSUH-MUSUH KHAYALAN, CERITA-CERITA KHAYALAN

Sebuah publikasi yang memperlihatkan sikap paranoid Nazi Jerman, menggambarkan bangsa Prancis sebagai musuh.


Pesan yang dibesar-besarkan dalam sebuah poster fasis, melukiskan Italia yang terikat oleh sebuah rantai pada Mediterania.

Fasisme adalah sebuah ideologi yang benar-benar lemah, dan harus berada dalam kondisi pergolakan terus-menerus agar dapat bertahan hidup. Faktor yang paling membuat negara fasis kuat di mata rakyatnya adalah mitos "musuh internal dan eksternal". Semua negara fasis menciptakan musuh-musuh imajiner, dan menyatakan perang habis-habisan terhadap mereka. Kediktatoran menguat melalui peliputan media secara berulang-ulang setiap hari tentang berbagai kemenangan gemilang atas musuh. Dan hal ini membangkitkan keyakinan bahwa "demi melindungi rakyat dari bahaya besar ini, perlu berlaku kasar dan kejam terhadap lawan". Rezim fasis terus berkuasa berkat gagasan umum tentang "kita dan mereka" dan musuh-musuh imajiner ini. Dengan demikian, ada pembenaran untuk pengikisan kekuatan hukum, pelanggaran hak asasi manusia, dan terorisme oleh negara. Mereka yang mengkritik fasisme dengan sendirinya dituduh bekerja sama dengan si musuh imajiner.

Hitler memusuhi Yahudi dan komunis, Mussolini memusuhi komunis; dan di jaman ini, para fasis seperti Saddam Hussein memusuhi Amerika Serikat, serta Slobodan Milosevic memusuhi kaum muslim. Mereka semua membangun rasa kesatuan palsu melalui ancaman imajiner ini. Bahaya yang dibuat-buat ini adalah senjata propaganda fasisme yang paling penting, yakni dengan menyebutkan adanya ancaman mengerikan, dan menggambarkan sang pemimpin fasis sebagai seorang "pahlawan" yang akan menyelamatkan rakyatnya. Dalam skenario menyesatkan ini, musuh rekaan tersebut selalu dikatakan sedang menyerang, dan pemimpin fasis dengan gagah berani memukul mundur si musuh dan melindungi rakyatnya. Itulah mengapa rakyat Irak masih begitu mencintai Saddam Hussein, di balik segala penindasan yang dilakukannya. Saddam dengan ahli menggunakan kekuasaannya kepada media untuk mencap negara lain sebagai musuh.


Paranoid Kaum Fasis

TEROR NEGARA TERHADAP RAKYATNYA

Karakteristik negara fasis adalah kecurigaan pada rakyatnya sendiri. Karena kaum fasis sadar bahwa mereka memperoleh kepatuhan dan loyalitas hanya dari kekerasan dan tindakan-tindakan yang menanamkan rasa takut, mereka membentuk polisi rahasia dan unit-unit intelijen yang sasarannya adalah rakyatnya sendiri. Ratusan ribu pembunuhan yang dilakukan oleh Gestapo merupakan bukti tingkat paranoid yang diderita negara fasis.

Salah satu ciri yang paling nyata dalam negara fasis adalah kecurigaan terhadap rakyatnya sendiri, dan usaha untuk menyingkirkan semua orang yang dicurigai dengan cara-cara yang kejam, bahkan hingga membunuh. Hampir semua rezim fasis membentuk kekuatan "polisi rahasia" untuk mengontrol rakyatnya dan membabat kelompok oposisi. Kekejian Gestapo dengan penganiayaan dan kekejamannya adalah sebuah bukti rezim fasis yang paranoid. Dalam bukunya The True Believer, Eric Hoffer menjelaskan ‘politik rasa takut’ yang dilakukan oleh Nazi untuk mengontrol rakyatnya.

…. dalam partai Nazi dibuat agar timbul perasaan bahwa mereka terus-menerus diawasi dan tetap berada dalam keadaan hati yang gelisah dan ketakutan. Rasa takut tetangga, teman, dan bahkan saudara nampaknya sudah menjadi peraturan di dalam semua gerakan massa. Secara berkala orang-orang tak bersalah sengaja dituduh dan dikorbankan agar kecurigaan tetap hidup. 42

Fasisme mempercayai bahwa jika rakyat dibiarkan apa adanya, mereka akan mengkhianati rezim dan juga mengalami kemerosotan. Agar rakyat takluk digunakanlah penindasan. Filsuf Prancis George Sorel (1847-1922), salah seorang ideologis fasisme, dan meninggalkan pengaruh khusus pada Mussolini, berada pada posisi terdepan dalam daftar orang-orang yang meyakini pendapat ini. Sorel meyakini bahwa masyarakat secara alamiah akan mengalami kemerosotan dan kekacauan. Menurutnya, kehancuran harus dicegah dengan menggunakan kekuatan, melalui pembentukan tatanan yang totaliter.

Paranoia kaum fasis masih berlangsung saat ini. Karena kecurigaan inilah Saddam Hussein memerintahkan pembunuhan terhadap keluarga terdekatnya atas kemungkinan ‘berkhianat’. Setelah mendepak Presiden Ahmad Hassan al-Bakr pada tahun 1979, Saddam memerintahkan pembunuhan atas lebih dari setengah anggota Partai Baath, partai mana ia juga menjadi anggota. Menurut Saddam, kriteria untuk melenyapkan orang-orang adalah maksud-maksud mereka, untuk mencegah bahaya yang mungkin mereka akibatkan terhadap keluarganya di masa depan. Putranya Uday, bertanggung jawab atas mesin teror yang menyingkirkan "para pengkhianat" di kalangan keluarga. Gerombolan pembunuh milik Saddam—semua penjahat, psikopat, dan pembunuh dari sukunya sendiri—menjadi inti dalam aparat keamanan istimewa yang dibentuknya pada tahun 1960-an dengan gaya SS Nazi. Diketahui bahwa Saddam memperlihatkan pada mereka video kejatuhan dan eksekusi diktator Rumania Nicolai Ceausescu yang memperingatkan bahwa nasib mereka bisa berakhir seperti itu bila rezimnya runtuh. 43


Kegandrungan Fasis terhadap Kekerasan

Dalam sebuah laporan berjudul "Orang Inggris di Afrika Kekurangan Dorongan Pembunuh" yang diterbitkan The New York Times pada 24 Juni 1942, James Aldridge menggambarkan pandangan Nazi tentang perang dan pembunuhan dalam kalimat-kalimat berikut:

Para komandan pasukan Jerman adalah ilmuwan-ilmuwan yang terus menerus bereksperimen dan meningkatkan formula pembunuhan yang matematis dan keras. Mereka dilatih bagaikan para ahli matematika, insinyur dan ahli kimia yang berhadapan dengan berbagai masalah rumit. Tidak ada nilai seni di dalamnya, tidak juga imajinasi. Bagi mereka, perang adalah ilmu alam semata. Tentara Jerman dilatih dengan psikologi pencari jejak berani mati. Ia adalah pembunuh profesional tanpa rasa ragu. Ia percaya bahwa ia adalah yang manusia terkuat di muka bumi.44

POLISI-POLISI KEJUT FASISME


Kartu pos yang dicetak untuk memperingati Hari Kepolisian Jerman

Pasukan SS yang berbaris… .
Kaum fasis tidak hanya mencuci otak rakyatnya, namun juga mengintimidasi melalui teror. Kesatuan-kesatuan khusus dibentuk untuk melaksanakan teror ini. SA, SS dan Gestapo bentukan Nazi merupakan contoh-contoh yang khas.


Gambar atas. Divisi Utama Maut SS (SS-Totenkopf) terkenal dengan kekejamannya. Lambang tengkorak kematian versi gaya Prusia di atas dipakai oleh anggota SS hingga tahun 1934. Gambar kiri. Jenderal Sepp Dietrich, komandan kesatuan panser Waffen-SS.

Model "pembunuh profesional" yang digunakan oleh Nazi ini adalah ciri umum fasisme. Kaum fasis memandang penggunaan kekuatan dan kekerasan sebagai tujuan itu sendiri. Pengaruh Darwinisme memainkan peranan penting di sini. Takhyul Darwinis bahwa manusia hanyalah pengembangan dari hewan, dan bahwa hanya yang kuat yang mampu bertahan hidup, sangat bertentangan dengan nilai-nilai etika. Cinta dan kasih sayang digantikan oleh rasa agresi, membalas dendam dan merebut, perasaan yang diperlihatkan kepada manusia sebagai kebutuhan ilmiah.


Mussolini membangun kamp-kamp konsentrasi yang mirip dengan kamp-kamp Nazi. Di sana telah dibunuh 18.000 dari 35.000 orang yang dipenjarakan Mussolini.

Kaum fasis menganggap konflik sebagai hukum alam, dan percaya bahwa perdamaian, keamanan dan ketenangan merintangi kemajuan umat manusia. Kata-kata Mussolini saat membuka Sekolah Propaganda dan Budaya Fasis di Milan tahun 1921, merupakan sebuah indikasi tentang ini; ia menyebut aksi sebagai kekuatan yang akan membawa fasisme menuju kemenangan. 45

Berbagai aksi kekerasan, penghancuran, penyerangan, dan peperangan itulah yang menjaga semangat juang kaum fasis tetap tinggi. Semua ini benar-benar bertolak belakang dari perdamaian, persaudaraan, dan ketenangan.



Ketika pasukan sekutu membebaskan negeri-negeri pendudukan Nazi, terkuaklah pembersihan etnis yang kejam yang dilakukan Nazi. Nazi telah membunuh 11 juta orang dengan cara-cara pemusnahan massal yang mengerikan, dan mereka yang masih hidup dalam keadaan sekarat. Kekejian ini memperlihatkan tingkat malapetaka yang diakibatkan oleh rasisme para penganut Darwinis.

Kebodohan kaum fasis juga memegang peran sangat penting dalam kecenderungan mereka akan kekerasan. Karena itulah Hitler membutuhkan tentara tempur, bukan para intelektual, dalam rezim rasisnya.

Berbagai aksi kekerasan Nazi dibawa ke tujuan itu melalui organisasi-organisasi yang dibentuk khusus. Yang paling pertama adalah SA (Sturmabteilung, atau Pasukan Badai) yang dibentuk tahun 1920, dan mencapai kualitas paramiliter pada tahun 1921. Banyak sekali penjahat jalanan yang tergabung dalam barisan SA. Kelompok ini juga dikenal sebagai pasukan "Kemeja Coklat", dan dipimpin oleh Ernst Röhm, yang terkenal dengan pembawaan psikopatiknya (dan kecenderungan homoseksualnya). SA melakukan tindakan terorisme yang tak terhitung jumlahnya selama tahun 1920-an untuk memperkuat Partai Nazi. Unit-unit SA melakukan berbagai serangan mendadak terhadap para penentang Nazi, menumpahkan darah dalam perkelahian jalanan, dan menyiksa para penentang yang mereka jadikan "tawanan perang". Hitler sangat membanggakan kekejaman SA. Dalam buku Mein Kampf, ia melukiskan sebuah penyerangan yang "sukses" terhadap penentang Nazi:

PERSEKUTUAN KEJI ANTARA FRANCO DAN HITLER

Jenderal Fransisco Franco yang fasis menyebabkan Spanyol melakukan perang sipil berdarah pada tahun 1936. Selama perang, rata-rata 500 orang tewas setiap harinya. Ketika perang berakhir, sekitar 600.000 meninggal.

Para pendukung terbesar Franco adalah Hitler dan Mussolini.

Sebagai balasan atas bantuan Hitler, Franco menghadiahinya Desa Guernica, tempat Hitler menguji coba pembom-pembom raksasa hasil teknologi Nazi.

Ketika aku memasuki ruang depan Hofbräuhaus (aula bir) pada pukul delapan seperempat, tidak ada keraguan lagi atas tujuan yang ada. Ruangan itu begitu padat dan karenanya telah ditutup oleh polisi… Sekelompok kecil SA menantiku di ruang depan. Aku memerintahkan pintu-pintu menuju ruang besar ditutup dan menyuruh 45 atau 46 orang untuk berbaris… pasukan badaiku—begitulah mereka disebut sejak saat itu—menyerang. Bagaikan serigala, mereka menyerbu musuh dalam kelompok delapan atau sepuluh orang berkali-kali, dan sedikit demi sedikit mulai melempar mereka keluar dari ruangan. Setelah lima menit saja, aku hampir tak melihat satu orang pun yang tubuhnya tak tertutupi darah. 46

SA mulai kehilangan pamor saat Nazi berkuasa, dan SS (Schutzstaffel, atau Detasemen Pengawal) yang lebih profesional, dengan disiplin militernya, mulai naik daun. Kesatuan ini memakai seragam hitam. Para pemuda diseleksi berdasarkan "kriteria ras" untuk menjadi anggota SS. Mereka harus memiliki ciri-ciri ras Aria. Waffen-SS adalah sayap militer dari SS. Totenkopf, atau Kepala Maut, divisi dalam Waffen-SS sangat terkenal dengan kekejamannya, dan ditarik untuk mengelola kamp-kamp konsentrasi.

Kamp-kamp serupa juga dibangun oleh Mussolini, dan 18.000 dari 35.000 orang yang dijebloskan ke dalam "kamp-kamp pembasmian" ini mati dibunuh. Masih banyak lagi kematian dan pembunuhan lainnya, serta pembunuhan yang tak terbongkar selama periode fasis di Italia. Mussolini mengakui kekejaman fasisme ini dalam salah satu pidatonya: "Fasisme bukan lagi pembebasan, melainkan tirani, bukan lagi pengawal bangsa, melainkan bagi kepentingan-kepentingan pribadi." 47

Contoh-contoh kekejaman seperti itu juga dapat ditemui saat Franco berkuasa di Spanyol. Bahkan saat perang saudara baru berawal, cara-cara bengis yang digunakan Franco telah menarik perhatian. Misalnya, di sebuah desa gunung di utara Madrid, 18 orang ditangkap karena memberikan suara kepada Front Populer. Setelah ditanyai, 13 orang diantaranya dibawa keluar desa dengan sebuah lori dan dibunuh di pinggir jalan. Saat kaum fasis memasuki kota kecil di Loro del Rio yang berpopulasi 11.000 jiwa dekat Seville, mereka membunuh lebih dari 300 orang. Penindasan utamanya berbentuk kekerasan di kota-kota. Begitu meluasnya sehingga jumlah orang yang dibunuh bahkan tidak diketahui pasti hingga saat ini.48 Franco telah memerintahkan pembunuhan ribuan rakyatnya sendiri, bahkan termasuk orang-orang tua, wanita dan anak-anak. Ucapan seorang anggota perlawanan anti-Franco pada bulan Juni 1936 menggambarkan situasi ini:

Ribuan orang disiksa, wanita-wanita yang menolak menyerahkan orang-orang kecintaan mereka digantung terbalik, anak-anak ditembak, dan para ibu yang menyaksikan penyiksaan anak-anak mereka menjadi gila… 49

Franco menyeret Spanyol kepada perang saudara yang mengerikan. Saudara memerangi saudara, ayah memerangi anak. Rata-rata 500 orang mati setiap harinya. Aksi-aksi kekejaman, pembantaian, penyiksaan massal, dan pembunuhan berlangsung tanpa akhir. Perang Saudara Spanyol telah menyebabkan 600.000 orang mati dalam kebangkitannya.

Hitler dan Mussolini menggunakan Spanyol sebagai sebuah laboratorium, ladang percobaan bagi pasukan dan senjata baru. 50 Contoh paling mengerikan adalah sebuah desa yang dihadiahkan Franco pada Hitler sebagai balas jasa atas bantuannya. Pada 5 Mei 1937 pagi hari, penduduk desa di Guernica ditumpas habis oleh pesawat-pesawat terbang pembom besar buatan teknologi Nazi. Franco menjadikan desa kecil itu sebagai lahan uji coba pesawat-pesawat Nazi. 51


Politik Pendudukan Fasisme


Jenderal Nazi Erwin Rommel ketika menduduki Afrika Utara pada tahun 1942.

Ciri khas lain yang tanpanya Fasisme tidak akan mampu bertahan adalah politik ekspansi dengan cara menduduki negara lain. Dasar politik invasi ini adalah rasisme, dan konsep "perjuangan untuk bertahan hidup di antara ras-ras", sebuah warisan dari Darwinisme. Negara-negara fasis percaya bahwa untuk berkembang sebagai sebuah bangsa, mereka harus menguasai bangsa-bangsa lain yang lebih lemah, dan tumbuh dengan mengisap mereka.

Menurut cara berpikir fasis, manusia hanya bisa maju dengan melibatkan diri di dalam peperangan. Oleh karena itu, "militerisme" adalah karakteristik fasisme yang paling menentukan. Untuk mendorong semangat perang ini, partai-partai fasis berusaha untuk mengesankan rakyat dengan pakaian-pakaian seragam dan upacara-upacara yang megah. Dalam ucapan Mussolini, "Fasisme… tidak percaya pada kemungkinan ataupun kegunaan perdamaian abadi. Hanya perang yang membangkitkan seluruh energi manusia hingga ke tingkat tertinggi dan memberi martabat bagi orang yang punya keberanian untuk mencapainya." 52

Mussolini mengungkapkan penentangan terhadap perdamaian dalam pidatonya yang lain, "Aku tidak percaya pada perdamaian, dan aku memandang perdamaian menghilangkan semangat dan merupakan sebuah sangkalan terhadap seluruh kebaikan manusia." 53

Mussolini menimbulkan penderitaan yang sangat besar, baik pada rakyatnya sendiri maupun pada negara-negara yang dia duduki, atas nama ideologi. Dia menginvasi Ethiopia (Abesinia) tahun 1935, dan 15.000 muslim tak berdosa dibunuh demi mewujudkan mimpi "membangun kembali Kekaisaran Romawi". Ia sama sekali tidak merasa menyesal telah memerintahkan penembakan terhadap orang-orang sipil yang melawan pendudukan. Dia juga bertanggung jawab atas kekejaman yang mengerikan berupa penggunaan gas beracun terhadap rakyat sipil.

Catatan paling memilukan dari politik pendudukan fasisme, tentu saja, adalah Nazi Jerman. Nazi mengklaim bahwa bangsa Jerman, yakni "ras yang berkuasa", membutuhkan "ruang untuk hidup" di luar batas negara Jerman, dan atas alasan itu memicu Perang Dunia II. Hanya dalam waktu singkat, Angkatan Darat Jerman telah menduduki Polandia, Belgia, negara-negara Baltik, Prancis, semenanjung Balkan dan Afrika Utara, menyerbu Rusia hingga ke Moskow, dan dari sana menuju Laut Kaspia. Pembunuhan ini, yang pada akhirnya memuncak menjadi sebuah petaka bagi rakyat Jerman dan negara-negara pendudukan, menyebabkan tewasnya 55 juta jiwa, dan merupakan warisan fasisme paling berdarah di abad ke-20.

PENDUDUKAN KAUM FASIS ITALIA ATAS ETIOPIA

Mussolini menduduki Etiopia pada tahun 1935 dengan mimpi "mengembalikan Kekaisaran Romawi". Sebanyak 15.000 muslim tak berdosa dibunuh oleh orang-orang Italia. Mussolini memerintahkan agar semua orang sipil yang menentang pendudukan itu ditembak mati. Ia pun melakukan pembunuhan massal dengan menggunakan gas beracun.
Gambar kiri. Enam muslim pejuang perlawanan Etiopia digantung oleh tentara pendudukan Italia.
Propaganda fasis: pendudukan Italia digambarkan sebagai pembawa peradaban "kemajuan" Romawi ke negeri Etiopia.



Nazi Jerman adalah contoh terburuk dari tindakan pendudukan fasisme. Peta ini memperlihatkan negara-negara yang diduduki Nazi di akhir tahun 1942.


Serangan Sistem Fasis terhadap Seni


Patung yang dibuat Ferruccio Vecchi: "Kekaisaran yang Muncul dari Kepala Sang Duce."

Aspek fasisme lain yang mengganggu adalah bahwa rakyat yang hidup di bawah rezim ini tidak dapat mengembangkan bakat seni mereka, dan penelitian-penelitian ilmiah mereka gagal membuahkan hasil yang produktif.


Ideologi fasis menghilangkan nilai-nilai estetika seni dan alih-alih mengubahnya menjadi alat propaganda, seperti gambar berjudul "Persahabatan" di atas, karya seniman Nazi Helmut Ullrich. Tema gambar ini adalah "prajurit Jerman yang heroik" dan "seorang anak yang mewakili ras Aria."

Untuk menentukan penyebabnya, kita harus mendefinisikan seni terlebih dahulu. Seni ditemukan pada orang-orang yang menemukan kesenangan dalam keindahan dan berkeinginan untuk mengekspresikannya. Karenanya, pertama-tama dibutuhkan jiwa yang mampu mengapresiasi keindahan. Misalnya, seorang seniman yang memiliki perasaan cinta dan kasih sayang dapat melihat keindahan pada seekor hewan, sebuah pemandangan, atau suatu tumbuhan. Ia merasakan semacam kesenangan, dan kemudian ia mencoba melukiskannya. Seorang komposer, ketika merasakan keindahan itu, akan menggubah musik yang merdu, karena jiwanya sangat ingin mengekspresikannya. Hal yang sama berlaku untuk semua jenis seni, dari sastra hingga musik.

Bagaimanapun juga, tidak mungkin orang-orang yang memiliki jiwa yang kelam dan dingin, yang terbiasa dengan penindasan, kekejaman dan telah kehilangan semua rasa kemanusiaan, mampu menghasilkan seni. Mustahil orang yang percaya pada agresi dan keunggulan kekuatan, yang menganggap perlu adanya pertumpahan darah dan memandang dunia sebagai medan perang—sebuah arena di mana hanya yang terkuat yang berhak hidup, dapat dipengaruhi oleh keindahan alam atau umat manusia serta seluk-beluknya.

Itu semua adalah karakteristik kaum fasis, dan oleh karena itu, tidak mungkin seorang fasis memiliki perasaan artistik. Jiwa fasis benar-benar terlemahkan dan dungu, tidak memiliki semua jenis pemahaman, dan menganggap seni itu "tidak diperlukan".

Sebenarnya, permusuhan orang-orang fasis terhadap seni bisa dirunut dari Sparta kuno, kota yang mereka jadikan sebagai model. Pada zaman di mana seni sangat dihargai di Athena, Sparta memandang seni tidak penting, dan malah melatih warganya menjadi prajurit sejak usia dini. Dalam pendidikan, anak-anak Sparta sesungguhnya dilarang untuk menumbuhkan minat pada kegiatan membaca dan menulis atau seni.


Sebuah poster pengumuman pameran yang diselenggarakan oleh pemerintah Nazi pada tahun 1938. Tujuan pameran ini adalah mempertunjukkan dan mencemooh karya-karya yang tidak sesuai dengan politik budaya Nazi.

Di negara-negara fasis abad ke-20, karya-karya seni, kalaupun ada, dibuat dan dikontrol oleh negara untuk kepentingan propaganda. Karya-karya ini adalah hasil dari "seni untuk memerintah" yang mekanis dan tanpa jiwa. Tidak muncul karya seni sejati. Contohnya, hanya objek-objek tertentu yang diperbolehkan negara yang dapat dilukis, misalnya perang. Kondisi yang sama juga berlaku untuk dunia tulis-menulis; hanya hal-hal yang diperbolehkan negara yang dapat ditulis, dan lain tidak. Hasilnya, muncullah seni yang sama sekali tidak berhubungan dengan seni, yang secara estetis mengubah seni, arsitektur dan sastra menjadi kaku, tanpa jiwa dan menjemukan.


DALAM FASISME, "SENI SAMA DENGAN PERANG"
Tema-tema artistik yang paling sering digunakan di masa Nazi Jerman adalah "heroisme " dan "perang". Ini terbukti dari karya Franz Eichhorst, Prajurit di Polandia.

Bukti yang paling nyata bisa ditemukan saat Jerman dikuasai Hitler. Karena pandangan-pandangan rasisnya, Hitler memboikot bentuk-bentuk seni tertentu. Misalnya, karena menilai orang Afrika adalah "ras rendah", pertunjukan musik jazz dilarang di Jerman, karena dianggap sebagai "musiknya orang hitam". Tahun 1935, Eugen Hadamowski, kepala radio Jerman, mengumumkan bahwa atas perintah Hitler, dia melarang musik jazz Negro disiarkan di radio Jerman.

Di awal 1940-an, pada puncak kekuasaan Hitler, jazz mulai digunakan sebagai alat propaganda di penyiaran radio yang diarahkan ke Inggris dan Amerika. Saat itu di hampir semua negara, jazz merupakan salah satu jenis musik yang paling populer. Musisi-musisi terbesar jazz Eropa dikumpulkan. Hal pertama yang dilakukan adalah menerjemahkan semua nama-nama Inggris pada lagu-lagu jazz terkenal ke bahasa Jerman. Lirik lagu-lagu ini diubah agar sesuai dengan propaganda Nazi, dan hanya diperdengarkan dalam acara-acara radio yang ditujukan untuk Barat, dan sangat dilarang dimainkan di radio domestik Jerman.

Seluruh isi lirik lagu-lagu tersebut adalah fasis. Contohnya berikut ini:


Sebuah lukisan dinding di pintu masuk Universitas Padua yang dibuat tahun 1940 oleh Massimo Campigli, salah satu seniman Italia yang dipekerjakan oleh pemerintah fasis.

Engkau yang terhebat… Engkau pilot Jerman… Engkau adalah tembakan senapan mesin… Engkaulah awak kapal selam yang heroik… Engkaulah yang terhebat… Engkau bomber Jerman… 54

Itulah gagasan Nazi tentang seni. Lukisan-lukisan, lirik-lirik lagu, musik dan sastra diharuskan untuk menampilkan tema-tema yang telah disetujui pemerintah. Misalnya, para pelukis hanya boleh melukis objek yang membakar semangat berperang.



Tujuan lain seni fasis adalah untuk menggambarkan pemimpin seolah keramat. Ini adalah tujuan dari potret Hitler Si Pembawa Bendera karya Hubert Lanzinger.

Ketika "grup jazz yang dikontrol pemerintah" mengeluarkan rekaman yang tidak berisi propaganda Nazi, mereka segera dituduh "bermoral rendah" dan diperingatkan untuk tidak pernah lagi mencoba melakukannya.

Dan, itu bukan akhir dari pengaturan Hitler terhadap para seniman. Setelah undang-undang ras tahun 1933, Reichsmusikkammer (Dewan Musik Reich) mewajibkan pendaftaran semua musisi Jerman. Hasilnya, ratusan komposer berbakat dengan sengaja diberangus karya-karyanya dan karir mereka berakhir hanya karena ras atau gaya musik mereka bertentangan dengan Reich Ketiga. Karya-karya terkenal dari Mendelssohn, Mahler dan Schoenberg digunakan sebagai contoh musik yang tidak dapat diakui. 55

Menurut Hitler, peran seni adalah untuk menyampaikan pesan-pesan politik untuk membentuk pikiran publik. Bagi Hitler, seni sejati adalah seni yang menggambarkan kehidupan di daerah pedalaman dan ras Aria yang sehat. Dalam sebuah pidato, ia memberikan pandangan-pandangannya tentang seni dan seniman:

Kita akan menemukan dan mendorong seniman-seniman yang mampu membuat rakyat Negara Jerman terkesan akan ciri budaya ras Jerman… dalam jati diri mereka dan dalam karya yang dipersembahkan, mereka adalah ekspresi jiwa dan cita-cita masyarakat ini. 56

Sebagaimana terlihat dari semua pemaparan di atas, bakat-bakat artistik dan upaya-upaya ilmiah orang-orang yang berada di bawah rezim fasis pada akhirnya sia-sia belaka. Di sisi lain, bagaimanapun, masyarakat yang hidup dengan agama yang lurus melihat kemajuan pesat dan perkembangan di bidang seni. Orang-orang yang beragama mengetahui bahwa alam semesta dan semua makhluk hidup di dalamnya diciptakan oleh Tuhan, karenanya mereka melihat segala sesuatu di sekeliling mereka dengan maksud memperhatikan keindahannya. Mereka menyadari cita rasa seni di dalam ciptaan Tuhan. Mereka melihat manusia, hewan, tumbuhan dan semua yang ada di alam sebagai ciptaan Tuhan, dan mereka mencintai serta menghargainya, menyadari keindahan serta memperhatikan detail-detailnya. Memang pada kenyataannya, karya-karya seni terbesar dalam sejarah muncul dari inspirasi yang ditemukan para seniman dalam subjek-subjek religius.


Kebencian Fasisme terhadap Wanita

Ada aspek yang sangat penting dari fasisme, namun tak banyak orang yang mengetahuinya. Fasisme memiliki sikap permusuhan terhadap wanita, dan menganggap wanita lebih rendah dari pria.

Fakta ini terlihat dari ucapan dan pernyataan-pernyataan para pemimpin fasis abad ke-20. Sebagai contoh, pernyataan Mussolini kepada Maurice de Valeffe, seorang reporter media Prancis Journal, tanggal 12 November 1922, yang secara terbuka meremehkan kaum wanita:

Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa aku akan membatasi hak pilih. Tidak! Setiap warga negara berhak memilih Parlemen Roma… Biar kuakui juga kepadamu bahwa aku tidak berpikir untuk memberi hak suara kepada kaum wanita. Tidak mungkin. Darahku menentang semua bentuk feminisme jika itu mengenai partisipasi wanita dalam urusan negara. Tentu saja wanita tidak boleh menjadi budak, tetapi jika aku memberinya hak suara, aku akan ditertawakan. Di negara kami, wanita tidak boleh diperhitungkan. 57

Selama krisis ekonomi yang serius di awal tahun 1930, Mussolini memerintahkan bahwa wanita harus meninggalkan pekerjaan mereka. Karena dia menganggap wanita sebagai "pencuri-pencuri yang berusaha merampas roti kaum pria, dan wanita bertanggung jawab atas ketidakproduktifan kaum pria." 58

Pendapat-pendapat Duce tentang wanita sangat jelas terlihat sebuah wawancara yang diberikannya kepada jurnalis Prancis Hélène Gosset tahun 1932:


Fasisme terperosok oleh kebenciannya pada kaum wanita, yang dianggap inferior.

Wanita harus tunduk…. Bahkan jika mereka memiliki daya analitis, mereka tidak punya daya sintesa. Pernahkah mereka membangun sebuah struktur arsitektur? Aku bukan sedang membicarakan tentang sebuah kuil: seorang wanita tidak mampu melakukan lebih dari mendirikan sebuah gubuk. Kaum wanita tidak tahu apa-apa soal arsitektur, sintesa dari semua seni: dan takdir mereka berakhir di titik ini. 59

Melalui berbagai undang-undang, pembatasan terhadap wanita di tempat kerja juga dikenakan dalam pendidikan. Sebagai contoh, sebuah dekrit tanggal 30 Januari 1927 melarang wanita di sekolah menengah untuk mengambil kelas sastra dan filsafat. Surat keputusan lainnya yang disahkan tahun 1928 memberi jalan bagi kebijakan legal untuk menentang pendidikan kaum wanita, dan wanita dilarang menjadi kepala sekolah menengah. Pelajar-pelajar wanita diharuskan membayar dua kali lipat untuk biaya sekolah dan universitas.

Sebuah dekrit yang diajukan Mussolini di depan parlemen tanggal 28 November 1933, menyatakan: "Lembaga-lembaga negara diberi kewenangan untuk menentukan persyaratan yang tidak menyertakan wanita dalam pengumuman untuk ujian masuk pegawai baru… Mereka harus menentukan batas terhadap peningkatan jumlah pegawai wanita di kantor-kantor pemerintahan…"60 Berdasarkan surat keputusan yang disahkan secara hukum pada 1 September 1938, jumlah pegawai wanita di kantor-kantor pemerintahan dibatasi maksimal hanya 10%.

Pada Jerman Nazi, status wanita sebagai "warga kelas dua" bahkan lebih ditegaskan lagi. Menteri pendidikan Jerman memutuskan bahwa jumlah lulusan wanita dari sekolah menengah tidak boleh lebih dari 10%. Tahun 1934, hanya 1.500 dari setiap 10.000 lulusan wanita dari sekolah menengah yang diperbolehkan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Pada tahun 1929, terdapat 39 lembaga pendidikan Sosialis Nasional. Namun, hanya dua di antaranya yang ditujukan bagi kaum wanita. Undang-undang disahkan untuk melarang wanita mengikuti kelas Bahasa Latin di sekolah menengah. Bahkan sebelum menyelesaikan sekolah menengah, mereka dihalang-halangi untuk melanjutkan ke universitas. 61

Berbagai dekrit ini tidak hanya menunjukkan sebuah ideologi sosial atau peraturan yang diberlakukan semata-mata untuk membantu perkembangan perburuhan, melainkan merupakan implementasi dogma biologis Nazisme. Maria A. Macciocchi, penulis Eléments pour une Analyse du Fascisme berkomentar bahwa di mata kaum Nazi, wanita adalah sejenis binatang. 62 Menurut filsafat ini, wanita merupakan ras primitif, pada tingkat yang rendah dalam kategori biologis. 63


Akar Darwinisme dalam Permusuhan terhadap Wanita

Sebagaimana dalam berbagai masalah lainnya, akar prasangka kaum fasis terhadap wanita ini adalah Darwinisme. Kaum fasis tidak hanya merasa cocok dengan gagasan Darwinisme tentang ketidaksetaraan ras, tetapi mereka juga mengadopsi pendapat bahwa lelaki lebih unggul daripada wanita.

Dalam The Descent of Man, Darwin menulis tentang wanita -yang sebagian "daya intuisi, kecerdasan, dan mungkin daya menirunya merupakan karakteristik dari ras yang lebih rendah, dan karenanya juga merupakan milik tingkat peradaban lebih rendah di masa lampau". 64 Menurut Darwin, evolusi berarti "suatu perjuangan individu dari suatu jenis kelamin, biasanya jantan, untuk memiliki individu dari jenis kelamin lainnya." 65

Dalam buku Descent, Darwin juga menyatakan, "Tubuh dan pikiran laki-laki lebih kuat daripada wanita, dan dalam keadaan biadab ia menjaga wanita dalam kondisi perbudakan yang lebih hina dibandingkan yang dilakukan jantan dari hewan lainnya; oleh karena itu, wajar jika ia memperoleh daya seleksi." 66 Evolusi berada di tangan kaum lelaki, dan kaum wanita pada dasarnya bersikap pasif. Akibatnya, wanita berevolusi lebih sedikit dan lebih primitif dibanding laki-laki, dan karenanya wanita lebih didominasi oleh naluri dan emosi, yang merupakan "kelemahan terbesar" mereka. 67

Darwin mempertahankan pendapat-pendapatnya tentang keunggulan laki-laki dan peranan pentingnya bagi evolusi sepanjang hidupnya. Inilah yang dikatakannya tentang hal ini dengan merujuk pula kepada teori-teori Francis Galton:

Perbedaan utama dalam hal kemampuan intelektual antara kedua jenis kelamin terlihat dari keberhasilan kaum pria mencapai kedudukan yang lebih tinggi, dalam apa pun yang dilakukannya, dibandingkan wanita—baik pencapaian yang membutuhkan pemikiran mendalam, akal budi, atau imajinasi, ataupun hanya penggunaan panca indra dan tangan. Jika dibuat dua daftar tentang tokoh laki-laki dan perempuan yang paling unggul dalam bidang puisi, seni lukis, seni pahat, musik (termasuk kemampuan membuat komposisi dan penampilan), sejarah, sains, dan filsafat, dengan setengah lusin nama untuk setiap subjek, maka kedua daftar tersebut tidak akan layak dibandingkan. Kita juga dapat menyimpulkan, berdasarkan hukum deviasi dari jumlah rata-rata yang dijelaskan dengan gamblang oleh Mr. Galton dalam bukunya Hereditary Genius (Kecerdasan Turun-temurun), bahwa jika laki-laki dapat diputuskan unggul daripada perempuan dalam berbagai bidang, maka rata-rata daya mental laki-laki pastilah di atas daya mental perempuan.68

Pendapat-pendapat Darwin juga dapat ditemukan dalam pandangan pribadinya mengenai perempuan. Ia menggambarkan peran perempuan dalam perkawinan sebagai "pendamping tetap, (teman di usia tua) yang akan merasa tertarik hanya pada satu hal, objek untuk dicintai dan bermain dengannya—lebih baik daripada seekor anjing, bagaimanapun juga—yakni rumah, dan seseorang untuk merawat rumah tangga…"69 Nyatalah bahwa Darwin memandang perempuan dan institusi keluarga dari sudut pandang materialistik. Tidak ada rasa cinta, penghargaan, loyalitas, kasih sayang, ataupun belas kasih dalam pendapatnya itu.

Carl Vogt, seorang evolusionis dan materialis yang hidup sejaman dengan Darwin dan merupakan seorang sarjana Jenewa pada pertengahan abad ke-19, juga memiliki pendapat-pendapat yang meremehkan kaum perempuan. "Kita dapat yakin bahwa di mana pun kita merasakan pendekatan terhadap jenis binatang, perempuan lebih dekat dengannya daripada laki-laki", tulisnya. "Oleh sebab itu, kita akan menemukan lebih banyak kemiripan (menyerupai kera) jika kita mengambil wanita sebagai patokan." 70

Banyak evolusionis, mengikuti Darwin, terus berpendapat bahwa perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, baik secara biologis maupun intelektual. Sebagian evolusionis bahkan menggolongkan laki-laki dan perempuan sebagai dua spesies yang berbeda secara psikologis: laki-laki adalah homo frontalis, sedangkan perempuan adalah homo parietalis. 71 Seorang evolusionis, Elaine Morgan, menekankan bahwa Darwin telah memotivasi kaum laki-laki untuk meneliti penyebab mengapa perempuan "benar-benar inferior dan lebih rendah". 72

Paul Broca (1824-1880), seorang fisikawan dan antroplog evolusionis, yang secara khusus tertarik pada perbedaan-perbedaan kecerdasan dan ukuran otak antara laki-laki dan perempuan, menganggap bahwa kurangnya kecerdasan perempuan disebabkan oleh ukuran otak yang lebih kecil daripada laki-laki.

Pengikut Darwin lainnya, psikolog sosial evolusionis Gustave Le Bon, menulis:

Pada ras-ras yang paling cerdas… banyak sekali perempuan yang mempunyai ukuran otak yang lebih mirip dengan otak gorila daripada otak kaum lelaki yang paling maju. Inferioritas ini demikian jelasnya hingga tak ada seorang pun yang menentang hal ini; sama sekali tidak penting untuk didiskusikan… Perempuan… mewakili bentuk-bentuk paling rendah dalam evolusi manusia dan… lebih mirip anak kecil dan orang biadab daripada seorang manusia dewasa yang beradab. Mereka unggul dalam sikap plin-plan, ketidakkonsistenan, tiadanya pikiran dan logika, dan ketidakmampuan menggunakan akal. Tak diragukan bahwa terdapat beberapa perempuan yang terkemuka… namun mereka sangat langka bagaikan kelahiran yang ganjil, seperti misalnya seekor gorila berkepala dua; karenanya, kita boleh mengabaikan mereka sepenuhnya. 73

Oleh karena itu, dasar-dasar pelecehan dan penghinaan fasisme terhadap kaum perempuan adalah teori Darwinisme. Perampasan hak-hak sosial perempuan yang dilakukan Mussolini, dan kebijakan Hitler untuk membangun "peternakan-peternakan pengembangbiakan" demi menghasilkan ras unggul serta mengharuskan para gadis remaja untuk tidur dengan tentara-tentara SS, adalah pencerminan tingkah laku fasis terhadap perempuan. Baik Darwinis maupun fasis, keduanya adalah musuh bagi kaum perempuan. Para Darwinis dan fasis memandang perempuan sebagai spesies rendah dan terbelakang, menghinakan mereka, juga menggunakan cara-cara yang diskriminatif dan menindas terhadap mereka.

Cara pandang fasis ini benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai etika Al Quran. Dalam Al Quran, Allah telah memerintahkan bahwa perempuan harus dihargai, dihormati, dan dilindungi. Allah juga telah memperlihatkan sosok-sosok perempuan teladan dengan akhlak mulia, seperti Maryam dan istri Fir’aun. Di mata Allah, keunggulan tidak ditentukan oleh ras, jenis kelamin atau kedudukan, melainkan oleh kedekatan dengan Allah dan kekuatan iman. Dalam banyak ayat Al Quran, Allah menyatakan bahwa semua orang beriman akan mendapat pahala tanpa diskriminasi antara laki-laki dan perempuan.

"Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya : "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain" (QS. Ali Imran, 3: 195)

"Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun." (QS. An-Nisaa’, 4: 124)

"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. An-Nahl, 16: 97)

Akan tetapi, sebagaimana agama diabaikan, kebenaran ini pun diabaikan, dan digantikan dengan takhyul semacam fasisme dan Darwinisme, yang membenarkan semua bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin atau ras.


Berbagai Penyimpangan Seksual dalam Fasisme

Permusuhan terhadap perempuan yang telah kita telah sejauh ini sebenarnya merupakan manifestasi kecenderungan bawah sadar yang kelam. Fasisme menyamakan perasaan-perasaan seperti cinta, belas kasih dan rasa sayang dengan kewanitaan, dan karenanya dianggap tercela. Di sisi lain, kecenderungan-kecenderungan seperti suka perang, haus darah dan kebengisan dipandang sebagai sesuatu yang khas "kelaki-lakian", dan karenanya "kejantanan" diangkat ke posisi keramat.



Kecenderungan kaum Nazi terhadap homoseksualitas terilhami oleh kelaziman pada masa masyarakat pagan kuno, terutama Yunani kuno. Patung karya Josef Thorak ini dinamakan Kameradschaft (Persahabatan), mencerminkan pemikiran kaum Nazi tentang seksualitas.

Ketika mitos fasisme tentang "kejantanan" diteliti lebih dalam lagi, kita akan temukan homoseksualitas tersembunyi di dalamnya. Ini memang tidak banyak diketahui, namun hubungan penting antara fasisme dan homoseksualitas dapat ditelusuri hingga ke jaman Sparta kuno.

Dalam bab-bab awal buku ini, dijelaskan bahwa fasisme dibangun di atas budaya pagan, dan ia muncul berbarengan dengan klaim kebangkitan kembali paganisme. Karakteristik paganisme paling tegas adalah tidak adanya patokan moral dan undang-undang yang digariskan Tuhan. Karenanya, dalam dunia pagan, segala macam penyimpangan seksual dapat tumbuh dengan subur. Negara-kota Yunani kuno lah yang mengangkatnya hingga ke posisi tertinggi. Di Athena dan Sparta, homoseksualitas dianggap sebagai sesuatu yang normal, hubungan yang dapat diterima, dan bahkan sebuah kebajikan.

Terutama di Sparta, nenek moyang fasisme, kepentingan khusus dihubungkan dengan konsep "kejantanan", dan atas nama "cinta sesama manusia", homoseksualitas diterima secara luas. Tentara-tentara Sparta percaya bahwa mereka dapat menambah kekuatan mereka dengan melakukan hubungan seksual satu sama lain. Sejarawan Plutarkh dari Khaeronea, yang hidup tahun 50-120 M, menulis bahwa "batalion suci" Thebans terdiri dari 150 pasangan homoseksual. 74 Di Sparta, semua anak laki-laki yang sehat dimasukkan ke dalam ketentaraan pada usia 12 tahun, dan dengan segera dicabuli oleh tentara-tentara yang berpengalaman. Mereka percaya bahwa hubungan sesat ini adalah sumber kekuatan terbesar bagi tentara Sparta dengan budaya "prajurit" dan nafsu pertumpahan darahnya.

Budaya rendah dan menyimpang seperti itu kembali berjaya lewat gerakan neo-pagan abad ke-19. Dan, pusat utama penyimpangan ini adalah bangsa Jerman. Pemimpin gerakan ini, Adolf Brand, mendirikan Gemeinschaft der Eigenen (Komunitas Kaum Elit) pada tahun 1902, bersama-sama dengan Wilhelm Jansen and Benedict Friedlander—keduanya terkenal dengan kecenderungan penyimpangan seksualnya. Friedlander menerbitkan sebuah buku berjudul Renaissance des Eros Uranios (Renaisans Erotika Uranian) pada tahun 1904. Di sampul buku itu terpampang gambar seorang pemuda Yunani tanpa busana. Friedlander menjelaskan tujuan buku ini sebagai berikut:


Berdasarkan dokumen yang disebutkan dalam The Pink Swastika, kecenderungan homoseksual di kalangan Nazi sudah sangat meluas.

Tujuan positifnya… adalah kebangkitan kembali kesopanan Yunani dan pengakuan masyarakat atasnya. Dengan cinta berkesopanan kami maksudkan khususnya persahabatan erat di antara para pemuda dan lebih khusus lagi ikatan antar sesama lelaki yang berbeda usia. 75



Terdapat begitu banyak homoseksual di dalam tubuh gerakan Nazi, hingga Partai Nazi telah disamakan dengan sebuah "klub homoseksual". Gambar atas: Kepala SS Heinrich Himmler bersama para perwiranya.

Tujuan komunitas ini adalah untuk mengubah Jerman dari masyarakat penganut Yahudi-Kristen menjadi masyarakat Greko-Uranian. 76 Organisasi menyimpang ini pun terkenal dengan rasismenya. Mengenai gagasan-gagasan Komunitas Kaum Elit, Kurt Hildebrandt, pemimpin Masyarakat untuk Hak Asasi Manusia yang didirikan tahun 1923, menulis dalam bukunya Norm Entartung Verfall (Idealisme, Kemunduran, dan Kehancuran) bahwa ras unggul adalah yang terdiri dari kaum homoseksual. Menurut pendapatnya, hubungan dengan wanita hanya diperlukan untuk "tujuan-tujuan reproduksi", sedangkan untuk mencapai sebuah ras yang "ultramaskulin", "cinta" seksual antar sesama lelaki sangatlah penting.

Pemikiran-pemikiran ini tak lain dari pemikiran Partai Nazi, yang pada dasarnya merupakan sebuah "klub homoseksual".

Fakta ini dikumpulkan oleh Scott Lively dan Kevin Abrams dalam buku mereka The Pink Swastika: Homosexuality in the Nazi Party (Swastika Merah Muda: Homoseksualitas dalam Partai Nazi), sebuah kajian berskala besar. Buku ini mengupas berbagai gerakan dan organisasi pra-Nazi, juga kepemimpinan Partai Nazi, serta mengungkap fakta bahwa terdapat begitu banyak kaum homoseksual di dalamnya. Dengan dokumentasi historis, buku ini menjelaskan bagaimana kebijakan Nazi mengumpulkan para homoseksual dan mengirim mereka ke kamp-kamp konsentrasi hanyalah untuk pertunjukan, dan bahwa dengan melakukan itu, para pemimpin Nazi senior berusaha untuk menutup-nutupi perbuatan mereka. Di antara Nazi homoseksual yang terkenal adalah kepala SA Ernst Röhm, kepala Gestapo Reinhard Heydrich, kepala Luftwaffe Herman Goering, Rudolf Hess, pemimpin organisasi Hitlerjugend (Pemuda Hitler) Baldur von Schirach, Menteri Keuangan Nazi Jerman Walther Funk, and komandan angkatan darat Freiherr Werner von Fritsch. 77

The Pink Swastika juga menunjukkan bahwa kecenderungan ini tidak hanya terjadi pada kaum Nazi di Jerman, dan bahwa terdapat banyak homoseksual dalam berbagai gerakan neo-Nazi dan organisasi rasis yang aktif di Amerika Serikat, serta menunjukkan bahwa penyimpangan semacam itu adalah ciri yang biasa dari fasisme. Kaum pagan fasis yang melakukan perbuatan dosa yang diceritakan dalam Al Quran, yakni seperti kaum Nabi Luth.

Bagaimanapun, mereka yang melakukan praktik tersebut tidak boleh melupakan apa yang terjadi pada kaum Nabi Luth. Bencana yang ditimpakan atas mereka dijelaskan dalam Al Quran pada ayat berikut:

"Dan Luth. tatkala dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun sebelummu?" Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri." Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal . Dan Kami turunkan kepada mereka hujan; maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. (QS. Al A’raaf, 7: 80-84)


34. Eric Hoffer, The True Believer, Thoughts on the Nature of Mass Movements, New York: Harper & Row, 1951, hlm. 11.
35. Adolf Hitler, Mein Kampf, Translated by Ralph Manheim, Pimlico, London, 1997, hlm. 163-164.
36. Emil Ludwig, Talks With Mussolini, George Allen, 1932, hlm. 122-123, hlm. 128.
37. http://www.historyplace.com/worldwar2/ holocaust/h-bookburn.htm
38. James Larratt Battersby, The Holy Book of Adolf Hitler, 1952, Southport, hlm. 10.
39. http://www.historyguide.org/europe/ duce.html
40. http://www.tasis.com/TASIS/FacultyLecture/ FacLect.html
41. Michael Baigent, Richard Leigh, Henry Lincoln, The Messianic Legacy, Corgi Books, 1991, hlm. 199.
42. Eric Hoffer, The True Believer, Thoughts on the Nature of Mass Movements, New York: Harper & Row, 1951, hlm. 122.
43. Adel Darwish, "The GodFather of Baghdad", http://www.mideastnews.com/the1.htm
44. Wilhelm Reich, The Mass Psychology of Fascism, Farrar, Straus and Giroux, New York, 2000, hlm. 333.
45. Benito Mussolini, Messaggi e Proclami, Libreria d'Italia, Milan, hlm. 29.
46. Adolf Hitler, Mein Kampf, Translated by Ralph Manheim, Pimlico, London, 1997, hlm. 459-460.
47. John P. Diggins, Mussolini and Fascism, Princeton University Press, 1972, hlm. 15.
48. Charlie Hore, Duncan Hallas, Andy Durgan, lspanya 1936 Bahari (Spain 1936 Spring), Z Yayinlari, hlm. 37.
49. T. Kakinç, Franco Kimdir? Falanjizm Nedir? (Who is Franco? What is Falangism?), Kitas Yayinlari, Mayis 1969, hlm. 57.
50. Paul Johnson, Modern Times, New York: Harper and Row, 1983, Chapter "The High Noon of Aggression".
51. http://www.crf-usa.org/terror/ civilian_Bombing.htm
52. Benito Mussolini, from the entry he wrote for the Italian Encyclopedia on the definition of fascism. http://www.fordham.edu/halsall/mod/mussolini-fascism.html
53. Benito Mussolini, http://www.historycenter.net/Politics-detail1.asp?ID=487
54. Nokta Dergisi (Nokta Magazine), 13 March 1988, hlm. 76-77.
55. http://fcit.coedu.usf.edu/holocaust/arts/ musDegen.htm
56. http://fcit.coedu.usf.edu/holocaust/arts/ artReich.htm
57. Maria A.Macciocchi, Eléments Pour Une Analyse du Fascisme, Paris, UGE, 1976, hlm.108
58. Maria A.Macciocchi, Eléments Pour Une Analyse du Fascisme, Paris, UGE, 1976, hlm.126-127.
59. Maria A.Macciocchi, Eléments Pour Une Analyse du Fascisme, Paris, UGE, 1976, hlm. 126.
60. Maria A.Macciocchi, Eléments Pour Une Analyse du Fascisme, Paris, UGE, 1976, hlm. 128-129.
61. Maria A.Macciocchi, Eléments Pour Une Analyse du Fascisme, Paris, UGE, 1976, hlm. 132-133.
62. Maria A.Macciocchi, Eléments Pour Une Analyse du Fascisme, Paris, UGE, 1976, hlm.134.
63. Maria A.Macciocchi, Eléments Pour Une Analyse du Fascisme, Paris, UGE, 1976, hlm. 163.
64. Charles Darwin, The Descent of Man, The Modern Library, New York, hlm. 873.
65. Charles Darwin, The Origin of Species by Means of Natural Selection, D. Appleton and Company, New York, 1859 (1897 edition), hlm. 108.
66. Charles Darwin, The Descent of Man, The Modern Library, New York, hlm. 901.
67. Stephanie A. Shields, American Psychologist, "'Functionalism, Darwinism, and the Psychology of Women; A Study in Social Myth.'' Vol. 30, no.1, 1975, hlm. 742.
68. Charles Darwin, The Descent of Man, The Modern Library, New York, hlm. 873.
69. Charles Darwin, The Autobiography of Charles Darwin 1809-1882 (Edited by Nora Barlow), W. W. Norton & Company Inc., New York, 1958, hlm. 232-233.
70. Roger Lewin, Bones of Contention, Simon and Shuster, New York, 1987, hlm. 305.
71. Rosaleen Love, "Darwinism and Feminism: The 'Women Question' in the Life and Work of Olive Schreiner and Charlotte Perkins Gilman" in David Oldroyd and Ian Langham (Eds.), The Wider Domain of Evolutionary Thought, D. Reidel, Holland, 1983, hlm. 113-131.
72. Elaine Morgan, The Descent of Woman, Stein and Day, New York, 1972, hlm.1
73. Stephen Jay Gould, The Mismeasure of Man, W. W. Norton & Company, New York, 1981, hlm.104, 105.
74. Eva Cantarella, Bisexuality in the Ancient World, New Haven, Yale University Press, 1992, hlm. 72
75. Benedict Friedlander, "Memoirs for the Friends and Contributors of the Scientific Humanitarian Committee in the Name of the Succession of the Scientific Humanitarian Committee", Journal of Homosexuality, January-February 1991, hlm. 259.
76. Scott Lively, Kevin Abrams, The Pink Swastika, Founders Publishing Corp., Oregon, 1997, hlm. 22.
77. Scott Lively, Kevin Abrams, The Pink Swastika, Founders Publishing Corp., Oregon, 1997




jangan cuman baca aja donk, tapi di isi komen nya yah coy,,,